-->

Edukasi social media untuk orang tua, perlukah ?

Tulisan ini merupakan pendapat saya berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan, Ini bukanlah pandangan menyeluruh atau opini yang bisa dipukul rata. Tulisan ini merupakan bentuk keresahan saya sebagai pengguna social media terhadap anak-anak yang sudah aktif menggunakan internet.

Pembahasan saya kali ini lahir dari postingan-postingan viral yang selalu muncul di explore Instagram saya beberapa waktu lalu. Ada anak laki-laki yang membuat meet and greet berbayar,disebut-sebut dia adalah artis tikt*k, sebuah aplikasi yang digandrungi oleh anak-anak seusianya bahkan beberapa artis pun menggunakan aplikasi ini.

Kemudian saya mencoba mencari tau anak anak seusianya yang juga menggunakan aplikasi tersebut melalui postingan di insta***m. Semakin saya coba telusuri, semakin kepala saya sakit. Saya mendapatkan kemudahan ketika orang kantor saya, anaknya menggunakan aplikasi tersebut, saya coba pinjam dan scroll sebentar. Mungkin sekilas aplikasi ini cukup menyenangkan, dance dengan lagu,menggunakan filter kemudian di post. Namun tentu harus di telusuri kemana muara dari aplikasi ini dan akan berkembang sejauh mana.

Sebelumnya, juga ada aplikasi serupa. Kebetulan keponakan saya menggunakannya. Saya coba perhatikan aktifitas mereka dengan aplikasi tersebut, mencoba terlihat tertarik untuk mengetahui lebih jauh. Keponakan saya ini masih di Sekolah Dasar, sudah aktif menggunakan social media dan bahkan mungkin lebih mahir dari orang tuanya. Sebenarnya jika dilihat sekilas, semua biasa-biasa saja.

Saya ingin menggali lebih dalam, mengikuti lingkaran pertemanan mereka dan bagaimana anak-anak ini saling mempengaruhi satu sama lain terhadap apa yang sedang "IN" di kalangan mereka. Munculnya idola-idola baru dari socmed yang mereka elu-elukan dan menjadi inspirasi mereka.
Bahkan saya pun baru tau, idola mereka ini juga dimotori oleh management seperti layaknya management artis. Mereka juga mengadakan meet and greet. Saya tidak menemukan bakat-bakat tertentu yang membuat mereka awalnya menjadi terkenal selain wajah rupawan, gaul dan lihai memainkan tangan mereka di depan kamera dengan lagu tertentu. Oh, skill editing video bisa saya apresiasi.

Sebenarnya sangat bagus, jika itu bermanfaat. Anak-anak perlu tau juga perkembangan teknologi, dan mereka sudah pasti terpapar perkembangan internet. Namun akan berdampak negatif jika tidak diarahkan atau mereka terlanjur addictive dengan konten yang kurang bermanfaat. Dan yang lebih membuat gusar, muncul dan terbentuknya pola pikir instan :

"Jika ingin terkenal, tinggal posting hal yang nggak penting kayak gini, kalau viral, followers meningkat, bisa di endorse, bisa bikin meet and greet sama fans, dapat uang"

Menurut saya, pola pikir instan ini yang mendorong orang-orang untuk cenderung melakukan hal berbahaya, hal negatif, atau mengikuti konten yang sedang trend tanpa menimbang baik buruknya. Karena yang menjadi target utama adalah keeksisan dan menjadi idola.

Sayangnya, trend aplikasi-aplikasi baru ini bisa saja terlewat oleh manusia-manusia seumuran saya, apalagi beberapa orang tua.  Mungkin sekedar mengetahui anaknya hanya post beberapa gerakan di depan kamera dengan lagu tertentu. Padahal ternyata ketika di telusuri, sama halnya dengan insta****  konten-konten orang lain/dewasa atau konten dari budaya barat yang bisa muncul mungkin tidak tersaring. Dan penggunanya juga anak-anak usia Sekolah Dasar, usia dimana otak masih segar-segarnya untuk menerima informasi. Ini yang kemudian membuat saya gundah gulana, padahal saya belum menikah. 

Menurut saya, edukasi atau penyuluhan secara continually adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk bisa menanamkan budaya bijak bersosial media sejak dini. Kita tau bahwa konten negatif dan kurang bermanfaat cenderung lebih mudah viral daripada konten positif. Jadi peran orang tua untuk memberikan tanggung jawab dalam menggunakan social media sangatlah penting. 
Ketika orang tua mau tau dengan aplikasi-aplikasi apa saja yang di download oleh anak-anaknya kemudian menelusuri lebih jauh, mungkin mereka akan bisa membuat kesimpulan apakah aplikasi ini pas untuk anak seusia mereka atau tidak. Kemudian juga bisa mengajarkan mereka untuk membuat konten lebih positif.

Saya pernah berbicara dengan seorang ibu yang berkomentar "anak saya main youtube aman-aman aja , dia cuma selalu nonton squishy kok.." 
Pada prakteknya jika tidak diarahkan..muncullah perilaku konsumtif, anak-anak akan cenderung ingin terus menerus membeli squishy baru yang mereka liat di youtube. 

atau

"anak saya kalau youtube cuma nonton games, nonton orang main games..aman kok"

Namun faktanya, pernah saya coba ikut nonton, ternyata di dalam video tersebut mengandung unsur kekerasan (tanpa disadari). Saya bukan berbicara mengenai games GTA atau perang-perangan. Tapi sejenis minecra** atau apa saya kurang tau jenisnya, video tersebut ditampilkan dalam bentuk storytelling tanpa suara. Jika kita lihat sekilas, kita seperti  menonton film kartun atau orang yang sedang memainkan game tersebut, tapi ketika saya ikuti alurnya, saya cukup shock. Cerita yang disampaikan ada unsur pembunuhan secara sadis yang digambarkan dalam bentuk permainan. Agak sulit saya menggambarkannya.

Mungkin ini terlihat sepele, tapi bisa berdampak negatif di kemudian hari. Kita memerlukan pakar-pakar di social media, komunikasi dan psikologi atau bidang-bidang terkait agar lebih gencar lagi untuk memberikan penyuluhan sosial media kepada orang tua dengan strategi yang berbeda beda.Karena orang tua adalah orang yang bisa mengawasi mereka dalam berselancar di dunia maya.  

Dengan mengedukasi para orang tua mengenai social media, kita bisa meningkatkan peran orang tua dalam aktifitas anak-anaknya. yang bisa kita lakukan mungkin memberikan arahan, mencari tau akun-akun yang bisa memberikan dampak positif bagi anak-anak. Mengajarkan mereka untuk bisa memilih konten baik dan buruk. Arahan yang diberikan juga bisa dalam bentuk mengajarkan mereka untuk menjadi content creator yang memberikan pesan positif. Jadi dari kecil mereka terbiasa untuk membuat konten bermanfaat serta merasa memiliki tanggung jawab atas setiap konten yang mereka bagikan di internet. Selain itu mengajarkan sistem disiplin pada anak dalam penggunaan handphone juga merupakan suatu solusi yang bisa di pertimbangkan.

Selain itu meminimalisir dampak penggunaan social media yang berlebihan. Banyak orang-orang seusia saya yang addictive terhadap social media dampak negatifnya adalah tingkat kecemasan meningkat, tingkat depresi pun meningkat. Ini mungkin juga bisa terjadi pada anak-anak, ketidak siapan mereka ketika mendadak menjadi terkenal, muncul 'haters" serta muncul nya keinginan untuk menjadi sama seperti idolanya.

Sebagai generasi millinnials pun kita juga memiliki tanggung jawab untuk menelusuri apa yang sedang trend dan dampaknya. Bukan justru mendukung atau mengabaikan efek-efek yang akan terjadi dikemudian hari. Kita juga nantinya akan menjadi orang tua, sedari sekarang kita sudah harus aware dengan perkembangan sosial media dan dampaknya. Dengan mengedukasi dan teredukasi, kita bisa meminimalisir dampak-dampak negatif kedepannya.


Salam,





LihatTutupKomentar