-->

Kota Tua, Monas dan Pelabuhan Sunda Kelapa

Museum Bank Indonesia di seberang kanan halte busway Kota
Bukan bosen nulis tentang wisata-wisata alam, tapi sekali-kali boleh dong nulis kampungnya bang Pitung, jagoan dari Betawi. Bahan tulisan ini emang asli gak disengaja, ya anggep aja berkah mau ditugasin sebentar ke Jakarta. Gara-gara acara yang dipadetin, gara-gara batal mau diajak temen cari peralatan komputer akhirnya malah aku terdampar di Kota Tua.

Gedung Dasaadmusin Conoern yang sudah rusak terbengkalai
Karena aku nginepnya di daerah Pramuka, aku milih pake busway.. busway dong, orang kampung kalau kesini yang dicari dan dicoba busway. Gak taksi bang? Kagak neng, taksi udah biasa di sini tapi taksi roda dua alias ojek hehehehe...

Sebenarnya mau nyobain monorel, kayaknya keren banget tuh. Tapi tanya-tanya orang di Jakarta gak ada yang tau dimana kalau mau naik monorel. Usut punya usut ternyata kalau mau nyobain monorel naiknya di depan Monas (itu tuh lagi ada pameran monorel).

Dengan ongkos 3.500, aku udah bisa naik busway nyampai Kota tapi turun sekali buat pindah jalur di Dukuh Atas. Gak terlalu penuh walau gak dapat tempat duduk, maklum masih belum jam pulang.

Kota Tua, Jakarta
Museum Mandiri dari sisi dalam halte busway
Jam empat aku sampai di halte busway Kota. Sebenarnya dari sejak pertengahan jalan di daerah Glodok sudah tampak bangunan-bangunan tua yang berdiri di pinggir jalan. Sebagian dibiarkan dalam kondisi yang sudah memprihatinkan, sebagian sudah berubah banyak walau masih tampak sisa-sisa sebagai bangunan tua.

Bangunan tua di depan halte sebagian sudah digunakan sebagai museum, yaitu museum Mandiri (gak usah ditanya juga pasti tau kalau bangunan itu punya Bank Mandiri) dan museum Bank Indonesia. Sayang jam bukanya hanya sampai jam empat, jadi waktu aku datang sudah ditutup. Diujung tikungan jalan museum Bank Indonesia, terdapat bola-bola besar dari semen yang digunakan untuk menutup jalan. Ternyata sedang acara Jakarta Fair dalam rangka menyambut ulang tahun Jakarta yang jatuh tanggal 22 Juni ini. 

Kantor Pos Indonesia yang masih aktif berlatar senja
Pantesan saja di sini ramai orang berjualan, dari makanan sampai tukang bikin tato, dari pedagang buku bekas sampai penjual lukisan/gambar foto. Disitu ditulis per wajah 40rebu, jadi kalau sebaiknya jangan minta bikin gambar dari foto ramai-ramai 40 orang sekaligus ya. Macam-macamlah pokoknya, sampai aku bingung ngeliatnya. Lihat penjual angkringan yang sedang membalik loyang berisi seperti telur dadar dibalik ke arah arang langsung, langsung lidah ngiler pengen ngicipi. Ternyata mahluk itu namanya kerak telor, makanan khas asli Betawi. Unik juga bahannya, ternyata bahannya ada ketan yang dimasak dulu baru setelah tanak ditambah telur dan bumbu-bumbu baru di bikin rata kayak telur dadar. Nah bagian akhir setelah masak ternyata loyang dibalik lalu ditaruh di arang, jadi seperti di bakar begitu. Rupanya bagian terakhir itu yang bikin aroma gurih kelapa makin terasa. Disajikan pake taburan kelapa goreng dan bawang goreng. Rasanya enak tapi cepet bikin kenyang.

Gedung museum keramik
Sebenarnya waktu lihat tukang bikin tato pengen juga bikin, karena disitu ditulis "Sedia Tato Permanen dan Non Permanen". Mau bikin tato tapi abangnya gak punya persediaan gambar buat burung emprit atau tokek (abangnya stres pengen bikin tato gratis di atas jidatku liat orang gak punya duit sok mau bikin tato)

Masuk ke arah dalam ternyata di tengah lapangan gedung Museum Fatahillah lagi dipasang panggung pertunjukan, juga ada tenda-tenda putih yang mau dibuat jadi tempat pameran. Beberapa bangunan tampak masih berdiri bagus, walaupun sebagian sudah tinggal bangunan kosong yang telah rusak. Disebelah kiri ada museum Wayang yang masih terawat, di bagian depan musem Fatahillah ada bangunan kantor Pos dan Giro yang masih digunakan sampai sekarang, disebelahnya ada sebuah cafe dengan bangunan yang masih mempertahankan bentuk bangunan lama namanya cafe Batavia. Suasananya sepertinya menyenangkan untuk digunakan bernostalgia jaman dulu. Kalau mau muter-muter seputar sini bisa juga pakai jasa penyewaan sepeda. Sepeda-sepeda model jaman jadul yang sudah dicat warna-warna jreng khas Betawi dan topi ala kompeni jaman dulu berjajar beberapa meter di depan cafe Batavia.

Gedung Museum Fatahillah sendiri sayangnya juga tutup hari ini karena pintu masuknya kehalang sama panggung yang dipenuhi kain-kain dekor warna hitam. Padahal aku sebenarnya pengen coba masuk kesana pas malemnya begitu. Kan sudah banyak tuh yang bikin cerita-cerita seru tentang angkernya museum Fatahillah ini kalau malam. Sayang aku datang terlalu sore sehingga seluruh bangunan sudah tutup, bahkan bangunan gagah bercat putih dengan pilar-pilar besar di seberang kanan yang merupakan museum keramik juga sedang tutup. Kata penjaganya buka setiap hari kecuali hari Jumat.

Bangunan-bangunan ini sekarang menjadi salah satu tempat favorit untuk pemotretan prewedding, biar serasa kembali ke masa lalu kayaknya. Untung mereka membayangkan masa lalu 50-60 tahun yang lalu. Coba kalau bayanginnya 500 tahun yang lalu berarti pakaian gak lengkap tuh hahahaha... 

Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa dipenuhi deretan moncong kapal
Nah, karena sudah disana aku akhirnya memutuskan sekalian mau ke pelabuhan Sunda Kelapa siapa tahu gak jauh dari sini. Memang kata abang tempat aku beli otak-otak, tinggal jalan lurus ke utara, cuma jaraknya lumayan jauh jadi aku disarankan pakai ojek sepeda. Karena mau test kaki, jadi aku putuskan jalan kaki saja. Ternyata jaraknya gak terlalu jauh, jadi bagi yang doyan jalan kaki silahkan coba jalan kaki dari Kota ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Justru dari pinggir pelabuhan sampai ke ujung pelabuhan yang lumayan jauh.

Ternyata Pelabuhan Sunda Kelapa bisa dibilang sebagai pelabuhan peti kemas yang masih tergolong tradisional. Kapal-kapal yang berlabuh disepanjang bibir pantai tempat pelabuhan adalah kapal-kapal kayu berbentuk seperti kapal pinisi.

Perahu-perahu pengangkut minyak di pelabuhan Sunda Kelapa
Hampir di sepanjang garis dermaga berjejer moncong panjang ujung kapal-kapal yang dipenuhi kesibukan bongkar muat barang dari truk-truk besar hilir mudik keluar masuk dermaga. Yang aku juga baru tahu, ternyata dermaga dari kapal-kapal ini sebenarnya adalah sungai bukan laut seperti di dermaga lainnya.

Sambil berjalan menelusuri dermaga sampai ke ujung, aku beberapa kali harus menahan napas melewati pekerja-pekerja yang menurunkan barang-barang yang berdebu seperti semen dan tepung-tepungan. 

Menurut sejarah, nama asli Jakarta justru dulunya adalah Sunda Kelapa yang kini hanya menjadi salah satu nama dari kawasan ini saja. Disinilah bermulanya pusat perdagangan Jakarta masa lalu. Jejak-jejak keberadaan kapal-kapal pinisi yang masih setia menaik turunkan barang disini menadakan bahwa disini dulunya adalah pusat perdagangan dimana jalur laut menempati posisi penting.

Aku kembali dari pelabuhan Sunda Kepala saat matahari mulai tenggelam. Tempat yang tepat untuk menikmati sunset, hanya banyak terhalang oleh aktivitas-aktivitas tak henti dari kapal-kapal ini. Sebenarnya ada cara lebih mudah, naik saja dari salah satu perahu nelayan yang biasa singgah di bibir dermaga dari celah-celah kapal. 

Monumen Nasional
Permainan cahaya dari panggung hiburan di Monas
Monas yang menjadi simbol kebanggaan Jakarta sebenarnya tak pernah benar-benar terbersit untuk aku singgahi, padahal kata orang tak lengkap orang mengaku pernah ke Jakarta kalau tidak mengunjungi Monas. Ah, kata siapa? Biniku kalau ke Jakarta yang dipikirin untuk didatangi ya mall-mall itu hehehehe.

Bukan berarti Monas gak menarik sih, tapi karena memang keberadaan Monas yang mudah dijangkau yang kadang membuat orang tak benar-benar menjadi Monas untuk dikunjungi. Hayo, siapa orang Jakarta yang belum pernah menginjakkan kakinya di Monas pasti jawabannya banyak banget.

Berawal saat kembali dari Bandung tengah malam, mobil travel yang aku tumpangi dari
Cahaya laser dari Monas menerangi langit tampak dari Dukuh Atas
Bandung ternyata hanya turun sampai kawasan Sarinah. Saat aku memutuskan berjalan kaki dari Sarinah sampai ke stasiun kereta api Gambir, ternyata aku melihat cahaya-cahaya terang menerangi langit. Tugu Monas yang menjulang dengan bentuk api menyala di bagian atas yang katanya terbuat dari emas menyala terang, demikian juga dengan dinding-dindingnya.


Ternyata setelah aku mendekat, nyala sinar-sinar itu memang berasal dari sinar laser yang dipancarkan lampu-lampu panggung yang berdiri megah di depan tugu Monas. Panggung besar yang dibangun ini ternyata akan digunakan besok Minggu yang menjadi puncak perayaan ulang tahun Jakarta, yang untuk di Monas disebut dengan Jakarta Night Fair atau malam muda-mudi Jakarta.

Ribuan watt lampu laser bergerak liar dengan cahaya warna-warni yang menerangi langit Jakarta yang sedikit kelabu malam itu. Jam dua dini hari cahaya-cahaya itu tetap berpendar-pendar memamerkan kecantikan Monas. Rupanya cahaya-cahaya ini sedang diuji coba, karena aku juga sempat mendengar sebuah lagu dari Slank dinyanyikan disertai petikan gitar elektrik berulang-ulang pada lagu yang sama untuk proses cek sound.

Sayang aku kembali sehari sebelum acara akbar ini digelar jadi hanya mendapatkan situasi ini. Yah tak apalah, paling tidak aku bisa memfoto Monas dalam kondisi lenggang. Coba kalau pas acaranya, boro-boro bisa memfoto situasi Monas. Bisa-bisa cuma dapat gambar kepala orang yang berdesak-desakan.

LihatTutupKomentar